Tolak Ribka Tjiptaning sebagai mentri kesehatan

Melalui petisi ini kami ingin menyalurkan aspirasi kami bahwa kami dokter Indonesia menolak apabila Bapak Ir. H. Joko widodo akan menjadikan Ribka Tjiptaning sebagai mentri kesehatan pada kabinet Bapak berdasarkan beberapa alasan :
1. Pada rapat komisi IX tanggal 7 Maret 2013 Ribka Tjiptaning mengatakan beberapa hal yang sangat menyinggung perasaan dokter Indonesia dan menghina profesi dokter di Indonesia, pernyataan Ribka Tjiptaning pada rapat komisi IX tersebut adalah :
a) Dokter lebih jahat dari POLANTAS karena dokter menilang orang sakit sedangkan POLANTAS menilang orang sehat.
b) dokter mendapatkan komisi 15% dari pemeriksaan lab
Pernyataan tersebut dirasa sangat menghina profesi kedokteran, padahal sumpah dokter indonesia berbunyi :
"Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur jabatan kedokteran;Saya akan memperlakukan teman sejawat saya sebagai mana saya sendiri ingin diperlakukan"
Bagaimana kami dapat dipimpin oleh seorang MENKES yang tidak dapat menjaga martabat profesi nya sendiri dan yang tidak dapat memegang sumpah profesinya sendiri.
2. Bahwa di Indonesia masih banyak guru - guru besar kami yang sangat kompeten untuk menduduki posisi mentri kesehatan seperti misalnya Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, MSc, Ph.D, Prof. Dr. dr. Akmal Taher, Sp.U(K), Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama, Sp.P(K), MARS, DTM&H, DTCE atau masih banyak lagi guru guru besar yang ahli dalam bidang kesehatan masyarakat dari seantero universitas negri ternama di Indonesia ini. Kami menagih janji Bapak Ir. H. Joko Widodo untuk memilih mentri dari kalangan profesional, khusunya dalam bidang kesehatan masyarakat.

untuk rekan rekan sejawat yang memiliki pemikiran sama dengan saya, mari bersama sama kita suarakan aspirasi kita ini dan semoga Bapak Ir. H. Joko Widodo dapat menjadikannya sebagai bahan pertimbangan dalam memilih mentri kesehatan selanjutnya. terimakasih

 

Bahan bacaan lain :

Silakan lihat di sini:

http://edisinews.com/berita-dokter-komersil-akibat-pengaruh-kapitalis-neolib.html

http://www.jpnn.com/read/2013/03/07/161680/Dokter-Dianggap-Lebih-Jahat-Dibanding-Polantas- Dokter Dianggap Lebih Jahat Dibanding Polantas Kamis, 07 Maret 2013 , 17:42:00 JAKARTA - Ketua Komisi IX DPR, Ribka Tjiptaning mengatakan dalam banyak hal dan kesempatan dokter itu lebih jahat dibanding polisi lalu lintas (Polantas). Seorang Polantas menurut Ribka Tjiptaning mengeluarkan surat bukti pelanggaran (Tilang) kepada pelanggar lalu lintas dalam keadaan sehat."Kalau dokter orang sakit yang dia "Tilang"," kata Ribka Tjiptaning, dalam diskusi Dialektika Demokrasi bertema "Rakyat Miskin Sakit, Siapa" Bertanggungjawab," di press room DPR, gedung Nusantara III, komplek Parlemen, Senayan Jakarta, Kamis (7/3). Belum lagi dalam proses memastikan penyakit yang diderita oleh seseorang. Menurut Ribka, terlihat sekali seorang dokter tidak mempercayai ilmu yang dia peroleh selama menjalani pendidikan di perguruan tinggi. "Semua pendeteksian penyakit termasuk hanya masalah panas badan harus melalui hasil laboratorium. Setelah ditelusuri, ternyata siapa pun dokter yang mengeluarkan perintah pemeriksaan laboratorium terhadap pasien karena mendapat bagian sebesar 15 persen dari keseluruhan biaya laboratorium yang dibayar oleh pasien," kata politisi PDI Perjuangan itu. Ribka juga menceritakan temuannya di salah satu rumah sakit yang neoliberalisme dengan memberlakukan syarat khusus dalam merekrut tenaga dokter spesialis. "Dokter spesialis bisa dia terima bekerja di sebuah rumah sakit kalau dalam satu bulan dia menyatakan sanggup mencari sedikitnya lima pasien yang pengobatannya harus melalui bedah atau operasi," tambahnya. Selain itu, dia juga menceritakan sikapnya selaku pimpinan di Komisi IX DPR yang dari awal menolak keberadaan claster rumah sakit berlabel internasional yang dibangun dalam areal kawasan rumah sakit milik pemerintah seperti yang terjadi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. "Satu ruang fasilitas bagi rumah sakit internasional yang dibangun dengan biaya APBN itu sesungguhnya bisa dimanfaatkan oleh lima orang pasien di kelas III. yang diperuntukkan bagi pasien tidak mampu. Tapi karena berlabel internasional maka fasilitas tersebut hanya dinikmati oleh satu pasien. Ini tindakan menzalimi orang namanya," tegas dokter Ribka Tjiptaning. (fas/jpnn) ------------------------- Apakah Anda bisa mempercayai seorang politikus berlatar belakang dokter, yang membenturkan sejawatnya sendiri kepada rakyat kecil dengan bersenjatakan opini tak mendasar dan manipulasi media, seolah-olah dokter Indonesia bekerja sendiri karena pemerintah tidak ada andil sama sekali terhadap penyelenggaraan sistem kesehatan dan ketersediaan obat/alat kesehatan di Nusantara? Silakan lihat di sini: http://www.tribunnews.com/nasional/2013/12/30/ribka-tjiptaning-dokter-sekarang-seolah-jubir-perusahaan-farmasi Ribka Tjiptaning: Dokter Sekarang Seolah Jubir Perusahaan Farmasi. Senin, 30 Desember 2013 12:17 WIB TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Komisi IX DPR RI Ribka Tjiptaning mengkritisi kondisi dunia kedokteran di Indonesia yang semakin komersil. Salah satunya terkait penggunaan obat-obat paten bagi pasien kurang mampu. "Dokter kita sekarang seolah jadi jubir perusaahaan farmasi," ujar Ribka dalam Rapat Koordinasi Bidang Kesehatan di Kantor DPP PDI Perjuanga, Senin (30/12/2013). Ribka menuturkan, dirinya pernah mendapati salah satu dokter di kliniknya yang menjual obat paten kepada pasiennya. Saat ditanya, ternyata dokter tersebut dijanjikan mendapat kesempatan seminar di luar negeri secara gratis jika berhasil menjual merek obat paten sejumlah tertentu. "Kacau, saya bilang gak ada yang seperti itu. Gak bisa pelayanan dan bisnis jadi satu," tegasnya. Ia juga membeberkan banyaknya seminar-seminar yang diselenggarakan Ikatan Dokter Indonesia (IDU) dengan dibiayai merek-merek obat paten. Sementara itu biaya untuk mengikuti seminar-seminar itu sangat mahal dan tidak terjangkau dokter-dokter muda yang idealis. "IDI seolah jadi perpanjangan tangan perusahaan farmasi. Kan kacau. Saya bilang ke anak saya kalau mau jadi dokter jangan jadi pedagang juga," tandasnya. ------------------------------- Apakah Anda tidak penasaran apa latar belakang seorang tenaga kesehatan yang duduk di bangku empuk legislatif, bisa menghilangkan pasal yang mengatur konsumsi tembakau beserta efek buruknya terhadap kesehatan di Nusantara? Silakan simak di sini: http://politik.news.viva.co.id/news/read/182428-ribka-tjiptaning-beber-hilangnya--ayat-rokok- Ribka Tjiptaning Beber Hilangnya 'Ayat Rokok' Ribka mengakui mendukung penghapusan 'ayat rokok' namun soal penghapusan, jangan tuduh dia. Selasa, 12 Oktober 2010, 11:27 VIVAnews - Ketua Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Ribka Tjiptaning mengirim surat terbuka kepada sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Penegak Citra DPR. Ribka menjelaskan, permintaan Koalisi untuk memintanya nonaktif karena jadi tersangka tidak dilandasi fakta. "Saya berpendapat bahwa LSM tersebut sebenarnya sudah mengetahui bahwa Kepolisian belum menyatakan secara resmi bahwa dr Ribka Tjiptaning statusnya tersangka dalam kasus dugaan penghilangan ayat 2 Pasal 113 Undang-undang No 36 tahun 2009," kata Ribka dalam surat terbuka tertarikh 11 Oktober 2010 itu. Beberapa LSM tersebut juga tahu bahwa ketentuan hukum menyatakan bahwa seorang tidak dapat dinyatakan tersangka sebelum ada proses pemeriksaan pada dirinya. Ribka Tjiptaning sampai hari ini belum diperiksa, dan menurut keterangan resmi Kabareskrim izin dari Presiden agar dia diperiksa belum ada. "Lebih jauh lagi saya berpendapat bahwa beberapa LSM tersebut dalam upayanya mengangkat kasus dugaan penghilangan ayat 2 Pasal 113 UU No 36 tahun 2009, tanpa disertai proses penelitian, pengkajian, dan pengumpulan fakta hukum yang semestinya," kata salah satu Ketua Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu. Ribka mengajak para LSM untuk melakukan penelitian dan verifikasi secara mendalam. "Saya berharap teman-teman mau membaca Tata-Tertib DPR tahun 2004/2009, pasal 150, ayat 4, yang bunyinya: Rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden yang diwakili oleh menteri, disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi undang-undang," kata Ribka. Ribka lalu membeberkan fakta menghilangnya ayat 2 tersebut. Selaku Ketua Komisi IX, Ribka telah menyampaikan pidato RUU Kesehatan (hasil Pembicaraan Tingkat I) di hadapan Rapat Paripurna DPR tanggal 14 September 2009. Oleh Rapat Paripurna tersebut (Pembicaraan Tingkat II) disetujui menjadi UU No 36 tahun 2009, di mana ayat 2 pasal 113 tentang ketentuan tembakau menjadi zat adiktif ada dan tercantum. "Hal ini bisa dilihat di risalah Rapat Paripurna DPR tanggal 14 September 2009, baik rekaman dan bentuk dokumen," ujarnya. Dan sejak rapat paripurna 14 September itu, fungsi Ribka sebagai Ketua Komisi IX yang berwenang menyusun rancangan UU 36 Tahun 2009 telah selesai. "Tinggal diserahkan kepada Presiden untuk ditandatangani, agar berlaku sejak ditandatangani presiden. Dalam hal ini sesuai dengan tata tertib DPR, penyerahan menjadi tugas Ketua DPR, dalam hal ini Agung Laksono," kata Ribka. Publik perlu mengetahui, kata Ribka, kejadian yang sesungguhnya. Ketua DPR saat itu, Agung Laksono, memerintahkan Sekretariat Jenderal DPR untuk menyerahkan materi UU No 36 tahun 2009 untuk diserahkan kepada Presiden. Saat itu Agung Laksono dalam situasi terburu-buru akan pergi ke luar negeri. "Setjen DPR sendiri dalam praktiknya meminta kepada Kepala Bagian Kesekretariatan Komisi IX untuk menyerahkan naskah UU No 36 tahun 2009 kepada Sekretariat Negara. Naskah yang diberikan dalam bentuk soft copy file," kata Ribka. "Perlu saya tegaskan soft copy file bukan naskah yang berbentuk hard copy file, atau naskah tertulis yang ada tanda tangan dan paraf Ketua DPR." Dalam penjelasan di Badan Kehormatan dan di Kepolisian, Kabag Kesekretariatan Komisi IX DPR menyatakan bahwa dia tidak menghadiri dan menyaksikan Rapat Paripurna yang mengesahkan RUU Kesehatan menjadi UU Kesehatan No 36 tahun 2009. Padahal, sesuai petunjuk pelaksanaan kerja, notulensi Sidang Paripurna untuk mensahkan UU memang menjadi tugas dan tanggung jawab Sekjen DPR di bawah garis koordinasi Ketua DPR, bukan tugas Kabag Kesekretariatan Komisi IX. "Tugas Kabag Kesekretariatan Komisi IX adalah membantu tugas komisi IX, notulen dalam agenda rapat pembahasan RUU, yang dalam hal ini menjadi beban Komisi IX untuk membahas RUU Kesehatan," kata Ribka. Sempat Dihapus di Komisi IX Ribka mengakui, materi yang ada di Kabag Kesekretariatan Komisi IX memang tidak mencantumkan ayat 2 pasal 113. Ayat itu dihapus karena pada waktu itu Ribka Tjiptaning, Asiyah Salekan (Fraksi Golkar), Mariani A. Baramuli (Fraksi Golkar) menyetujui desakan Asosiasi Petani Tembakau Indonesia dan Asosiasi DPRD Kabupaten seluruh Indonesia untuk menghapus ayat 2 pasal 113. "Perlu saya tegaskan bahwa penghapusan ayat itu oleh Kabag Kesekretariatan Komisi IX terjadi pada tanggal 12 September 2009, itu pun atas permintaan Faiq Bahfen (orang Depkes), sedangkan Rapat Paripurna baru terjadi pada tanggal 14 September 2009," kata Ribka. Tetapi penghapusan ayat 2 itu tidak disetujui oleh politisi Partai Kebangkitan Bangsa Umar Wahid yang juga Koordinator pembahasan RUU Kesehatan. "Maka kami bertiga juga harus setuju. Itu merupakan keputusan seluruh fraksi dan itu mayoritas. Selama belum ada Sidang Paripurna, muncul dan hapusnya ayat sah-sah saja," kata Ribka. Ribka lalu me-print-out materi RUU yang saya bacakan dan dibagikan kepada anggota Dewan dalam Sidang Paripurna tersebut dengan menggunakan data saya, bukan dari Kabag Kesekretariatan Komisi IX. Materi tersebut jelas-jelas memuat ayat 2 pasal 113. "Silakan teman-teman LSM menverifikasi bukti-bukti rapat paripurna tersebut yang ada di Kesekretariatan DPR. Hal itu merupakan sikap saya yang menghormati keputusan mayoritas," ujar Ribka. "Jadi setelah Sidang Paripurna tanggal 14 September 2009, domain ada di DPR, dalam hal ini Ketua DPR. Saya tegaskan sekali lagi Ketua Komisi IX sudah selesai tugas dan tanggung jawabnya sampai di situ," kata Ribka. Sikap Ribka dan PDIP Ribka mengakui, dia dan fraksinya memang menginginkan penghapusan ayat 2. "Memang sikap saya adalah menolak ketentuan bahwa tembakau atau produk tembakau dinyatakan oleh UU itu sebagai zat adiktif (ayat 2 pasal 113 UU No 36 2009). Sikap saya, dan sikap PDIP membela petani tembakau. Pembatasan itu akan menyebabkan kerugian bagi petani tembakau," katanya. "Kami berpandangan bahwa pembatasan bahkan pelarangan tembakau tidak hanya dilihat oleh aspek kesehatan saja. Isu itu digulirkan harus dilihat dalam konteks ekonomi politik," ujarnya. Ribka menyebut, dalam beberapa penelitian di berbagai negara, peraturan yang mengilegalkan tembakau selalu diiringi dengan meningkatnya produk nikotin bukan tembakau, tetapi nikotin obat. Dari tesis itu dapat disimpulkan bahwa korporat besar farmasi memperoleh manfaat dan sekaligus mendanai kampanye anti tembakau. Namun, ujar Ribka, "Sikap saya ini tidak harus serta merta menjadi landasan dan keabasahan Kakar dan Koalisi Penegak Citra DPR untuk menghajar saya." Jelas sikap Ribka Tjiptaning yang menyetujui menghapus ayat 2 pasal 113 pada tanggal 12 September 2009 (sebelum sidang Paripurna) dijadikan landasan tuduhan bahwa hilangnya ayat itu karena rekayasa Ribka Tjiptaning. Dan sekali lagi, Ribka menyatakan menjunjung tinggi asas demokrasi karena mayoritas fraksi sudah setuju mempertahankan 'ayat rokok' itu. "Dalam tahap sebelum paripurna saya akan berjuang gigih, tetapi kalau mayoritas sudah memutuskan saya wajib tunduk dan menghormatinya," kata Ribka. Polisi sudah menangani kasus penghilangan 'ayat rokok' ini dengan memanggil sejumlah orang termasuk mantan anggota Komisi IX dari Partai Demokrat, Hakim Sarimuda Pohan. Namun sudah berbulan-bulan, polisi belum menetapkan tersangka atas kasus ini.

------------------------- Kenapa jangan Ribka Tjiptaning? Masihkah pertanyaan itu terlintas setelah membaca uraian di atas?


victor manuhutu    Hubungi penulis petisi