Gerakan Nasional Pendidikan

Gerakan Nasional Pendidikan Yogyakarta

Contact Person : 081392301250 (Fatur)

"Bangun Persatuan Rakyat Untuk Kedaulatan Pendidikan"

 

Indonesia, melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tanggal 2 November 1994 tentang pengesahan (ratifikasi) “Agreement Establising the World Trade Organization”, secara sah masuk ke dalam perikatan organisasi perdagangan internasional tersebut. Keterikatan Indonesia di dalam World Trade Organization (WTO) memberikan konsekuensi tertentu pada pelaksanaan program pembangunan domestiknya. Sebab WTO merupakan organisasi kerjasama yang mengatur perdagangan internasional dengan segala kebijakan turunannya yang harus diikuti oleh negara pesertanya.

Dalam perkembangannya, WTO tidak melulu mengurusi perdagangan barang belaka. Sektor jasa kemudian pula dipandang WTO sebagai bidang yang harus diperdagangkan. Hal itu sekaligus merupakan hasil dari Putaran Uruguay yang terbungkus di dalam The Legal Text. The Legal Text berisikan sekitar 60 persetujuan, lampiran (annexes), keputusan dan kesepakatan. Persetujuan-persetujuan dalam WTO mencakup barang, jasa dan kekayaan intelektual yang mengandung prinsip-prinsip utama liberalisasi. Di dalamnya, terdapat berbagai komitmen negara-negara untuk membuka pasar dan menurunkan tarif serta hambatan perdagangan lainnya secara individual.

Konsekuensinya, negara-negara anggota diminta membuat kebijakan-kebijakan perdagangan yang transparan dengan merujuk pada ketentuan-ketentuan yang berlaku berikut tindakan-tindakan yang dipakai dalam WTO. Salah satu aspek yang dicakup oleh WTO adalah perdagangan jasa yang diatur dalam General Agreement on Trade in Services (GATS). Hal itu merupakan salah satu lampiran dari Perjanjian Pembentukan WTO beserta Schedule of Specific Commitments yang berisi daftar komitmen Indonesia yang sifatnya spesifik. Selain itu, di dalam lampiran tersebut juga berisi penjelasan Indonesia atas sektor dan transaksi di bidang jasa mana saja yang terbuka bagi pihak asing serta kondisi-kondisi khusus yang disyaratkannya. Sebagai anggota WTO, Indonesia tentu saja tidak dapat menghindar dari berbagai perjanjian liberalisasi perdagangan, termasuk perdagangan jasa pendidikan.

Dari sebab tersebut pada akhirnya pendidikan semakin mendapat perhatian lebih dari modal internasional dan/atau swasta. Segala pra kondisi harus dipersiapkan oleh negara tujuan modal dan swasta yang melirik pendidikan negara tujuan. Dari pra kondisi dan saran itulah ternyata hidden agenda seperti deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi disisipkan hingga kini kental di jiwa produk perundang-undangan kita di sektor ekonomi, politik, sosial dan sektor-sektor lainnya jelas adalah dampak dari pengaruh paham neoliberalisme yang akan menguntungkan perusahaan TNC (Trans National Corporate) ataupun MNC (Multi-Nasional Corporate) yang sebenarnya terintegrasi kedalam kepentingan negara dunia pertama.

Pendidikan di Indonesia sendiri, meskipun sejak kolonialisasi sampai hari ini lebih banyak kecenderungannya untuk kepentingan modal dan swasta, namun hari ini lebih kentara lagi dengan segenap kebijakan politik pendidikannya. Pendidikan hari ini benar-benar jelas terlihat layaknya barang dagangan yang sangat mudah untuk diperjual-belikan. Tak ayal, jika sudah logika jual-beli yang bermain, maka pendidikan hanya bisa ‘dibeli’ oleh orang yang mampu membeli. Adapun yang tidak mempunyai daya untuk membeli, harus rela tersisihkan dan tak bisa sama sekali mengakses pendidikan.

Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia hari ini nyata hanyalah untuk  mempersiapkan tenaga kerja murah dan handal. Ini dilihat dari Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) yang menjadi basis kurikulum pada setiap wilayah pendidikan dari dasar sampai pendidikan tingkat tinggi. KKNI nyatanya hanya untuk menyesuaikan kebutuhan SDM masyarakat Indonesia yang harus berdaya saing menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Lebih luas lagi, KKNI ini diperuntukkan kaum terdidik kita untuk menjadi masyarakat kapitalistik yang sangat liberal dan tidak punya keberpihakkan atas keilmuannya terhadap nasib rakyat. Namun satu sisi, politik pengupahan di Indonesia seolah-olah memposisikan tenaga kerja melimpah ruah dan murah sebagai nilai lebihnya. Artinya disini tempaan pendidikan dengan KKNI sebagai basis kurikulumnya, sesungguhnya hanya morality economic sebagai topeng penciptaan budak modern.

Liberalisasi pendidikan membawa dampak luar biasa dalam penyelenggaraan pendidikan secara nasional. Sebagaimana yang sangat terasa hari ini, pendidikan yang pada asasnya adalah untuk wilayah pengemban misi sosial berupa pencerdasan kehidupan bangsa, kini tanpa disadari beralih menjadi pengemban misi ekonomis berupa penyediaan tenaga kerja. Pendidikan akibat alih orientasi ini, dipandang seharusnya turut beranggung jawab atas gagalnya proyek pembangunan ekonomi nasional. Dan celakanya, pembangunan ekonomi nasional yang diprogramkan hari ini, cenderung didasarkan pada logika kapitalistik kelompok kepentingan. Dari sini upaya pendidikan – sebagaimana yang diidam-idamkan pendahulu – dapat menjadi ruang pembangunan sikap karakter manusia Indonesia yang merdeka, berdaulat dan bermartabat, runtuh sebab terjerumusnya pendidikan ke dalam logika ekonomistik neoliberal.

Wajib disadari bersama, bahwa pendidikan merupakan wilayah asasi bagi manusia. pendidikan seyogyanya mampu menjadikan manusia yang turut serta di dalamnya menemukan kemanusiaannya. Kemudian dari situ manusia dapat merealisasikan dirinya secara merdeka, berdaulat dalam menciptakan sejarah budayanya. Perlunya pendidikan didekatkan kepada realitas sosial-eonomi-politik dan jati diri bangsa, adalah bahan dasar yang tidak boleh dilepaskan dalam penyusunan penyelenggaraan pendidikan. Sebab atas alasan itulah, kemerdekaan bangsa Indonesia kemudian menempatkan pendidikan sebagai wilayah penting dan mendasar. Bahkan bagi Ki Hajar Dewantara, pendidikan selayaknya ditujukan untuk mendorong daya kuasa hidup dan penghidupan rakyat Indonesia. Bukan justru hanya sebagai ajang penyumpalan teori pengetahuan yang memiskinkan rakyat Indonesia.

Atas dasar pembacaan di muka, Gerakan Nasional Pendidikan dengan tegas menyatakan tuntutannya kepada pemerintah, untuk :

1. Mencabut segera UU SISDIKNAS Nomor 20 Tahun 2003.

2. Mencabut segera UUPT Nomor 12 Tahun 2012.

3. Mencabut segera PP Nomor 26 Tahun 2015 Tentang PTN-BH.

4. Mengkaji ulang kurikulum pendidikan dasar hingga tinggi.

5. Menghapus PERMENRISTEKDIKTI Nomor 22 Tahun 2015 pasal 9 ayat 1 tentang pemunguntan biaya oleh kampus terhadap mahasiswa dari jalur mandiri, kerjasama, mahaisiswa luar negeri, dan kelas internasional diluar UKT.

6. Hapus PERMENRISTEKDIKTI Nomor 9 Tahun 2016 pasal 9 ayat 1 tentang kampus tidak turut membiayai Kuliah Kerja Nyata (KKN) mahasiswa.

7. Hapus PERMENDIKBUD Nomor 75 Tahun 2016 tentang komite sekolah boleh menarik pungutan kepada masyarakat melalui peserta didik.

8. Usut tuntas kasus-kasus korupsi di dunia pendidikan.

Tidak hanya itu, Gerakan Nasional Pendidikan pula menyerukan kepada pemerintah bersama masyarakat secara luas, untuk :

1. Mewujudkan pendidikan gratis, ilmiah, dan bervisi kerakyatan.

2. Mewujudkan pemerataan pendidikan.

3. Mewujudkan kesejahteraan tenaga pendidik dan kependidikan.

Maka dari itu pula, membangun kokohkan persatuan rakyat untuk kedaulatan pendidikan adalah agenda yang harus terus menerus digalang bersama. Menghormati hidup, menghormati kehidupan. Hidup rakyat, hidup pelajar, hidup mahasiswa, merdeka Indonesia.

Yogyakarta, 2 Mei 2017

NB: Untuk kawan-kawan sudah bersedia bergabung dalam GNP untuk hadir dalam evaluasi aksi Hardiknas dan konsolidasi lanjutan pada hari Kamis, 4 Mei 2017 pukul 13.00 WIB di Teatrikal Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN sunan Kalijaga.


gerakan nasionalisasi pendidikan    Hubungi penulis petisi